Selasa, 20 Desember 2011

Pendidikan Watak bagi Peserta Didik

1
Pendidikan Watak bagi Peserta Didik: Modal Vital
Pembangunan SDM di Era Global Menuju Indonesia Bermartabat
Dr. Khoirul Adib, M.A1
Abstrak
Salah satu problem mendasar yang dihadapi bangsa Indonesia selama ini
adalah lemahnya moralitas kolektif sebagai refleksi kegagalan
pendidikan nasional. Hal ini -antara lain- sebagai dampak sistemik
pendidikan yang abai terhadap dimensi karakter (watak) sebagai modal
vital daya saing SDM di kancah global. Karena itu agenda reformasi
pendidikan yang komprehensif-integratif merupakan keniscayaan atas
kegagalan pendidikan dalam menghasilkan SDM yang berkualitas dan
bermartabat. Pendidikan karakter dalam konteks ini adalah suatu sistem
penanaman nilai-nilai karakter (watak) kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha
Esa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga
menjadi manusia insan kamil. Untuk itu, semua komponen
(stakeholders) harus dilibatkan dalam ‘proyek bersama’ ini secara
sinergis sehingga pendidikan karakter ini akan membawa peserta didik
ke arah pengenalan nilai-nilai unggul, tidak saja secara kognisi, tetapi
juga penghayatan sekaligus pengamalan nilai-nilai tersebut secara nyata
menuju terciptanya generasi bermartabat.
Kata Kunci: Pendidikan watak (karakter), Pembangunan SDM, Era global,
Indonesia bermartabat
Bangsa Indonesia dewasa ini sedang mengalami patologi sosial yang kronis.
Sebagian masyarakatnya tercerabut dari peradaban ketimuran yang terkenal dengan
wataknya yang santun, toleran, bermoral, dan beragama (Dimyati dkk.., 2008). Oleh
karenanya, pengembangan SDM dan peningkatan kualitas SDM khususnya dalam
bidang mental, moral, dan spiritual harus dilaksanakan secara sinergis dan optimal.
Salah satu pengembangan mental dan moral adalah dengan memberikan pendidikan
karakter atau pendidikan watak. Pendidikan karakter (character building) juga
bertujuan untuk meningkatkan kualitas moral SDM sehingga tercapai keseimbangan
antara pendidikan intelektual dan pendidikan watak dan kepribadian atau budi pekerti.
Dengan demikian diharapkan peserta didik memiliki watak atau karakter yang baik
untuk menopang keberhasilan mereka dalam interaksinya dengan diri sendiri, dengan
sesama, dengan dunia sekitar dan dengan Sang Pencipta.
1 Dr. Khoirul Adib, M.A adalah Staf Pengajar di JSA Fakultas Sastra – Universitas Negeri Malang
2
Pembangunan suatu bangsa memerlukan aset pokok yaitu sumber daya, baik
sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA). SDM memegang
peran yang lebih penting dibandingkan sumber daya alam dalam menentukan
keberhasilan suatu pembangunan. Kualitas SDM juga memegang peran yang lebih
penting dibandingkan kuantitas dalam memberikan kontribusi terhadap pembangunan
suatu bangsa. Bahkan kuantitas SDM tanpa diimbangi kualitas yang baik hanya akan
menjadi beban pembangunan suatu bangsa. Kualitas SDM yang dimaksud meliputi
kemampuan fisik maupun non-fisik seperti intelektual, spiritual, mental dan moral.
Salah satu isu besar yang selama ini sering terdengar adalah perihal ringkihnya
kualitas SDM di negeri ini. Masih rendahnya mutu dan daya saing SDM Indonesia di
pentas global sering dituding sebagai produk rendahnya mutu pendidikan. Oleh
karenanya, reformasi pendidikan secara terus-menerus di segala jenjang mutlak
dilakukan agar pendidikan ke depan mampu menghasilkan out put SDM yang jauh
lebih berkualitas sesuai dengan tuntutan era global. Dominasi peran SDM di era
informasi dan globalisasi ini telah lama diprediksi berbagai pihak, diantaranya
sebagaimana berulangkali dinyatakan John Naisbit (1990) bahwa "In an information
society, human resource is at the cutting edge. And it means that human resource
professionals are becoming much more important in their organization. Hal ini dapat
dipahami karena manusia merupakan instrumen kunci dalam melakukan berbagai
inovasi dalam berbagai sistem organisasi maupun sistem negara-bangsa. Namun
demikian, berdasarkan realitas yang teramati dan pengalaman mengajar penulis
sendiri selama beberapa tahun, memberikan gambaran awal bahwa nampaknya ada
something lost (sesuatu yang hilang) dari content kurikulum pendidikan kita maupun
dari proses pembelajaran di kelas yang selama ini berjalan. Salah satu elemen penting
yang hilang sebagai penopang terbangunnya SDM yang berdaya saing tinggi adalah
pembentukan watak anak didik atau dengan istilah lain disebut sebagai pendidikan
karakter.
Dalam konteks keindonesiaan, gagaasan pembangunan karakter bangsa unggul
sesungguhnya telah ada semenjak diproklamirkannya republik ini pada tanggal 17
Agustus 1945. Pimpinan nasional kita yang pertama yakni Bung Karno telah pernah
menyatakan perlunya nation and character buildings. Walaupun pernyataan tersebut
dalam konteks politik, namun secara eksplisit mengandung arti bahwa pembangunan
SDM Indonesia tidak cukup hanya dengan membangun fisik akan tetapi yang tak
kalah pentingnya adalah termasuk membangun karakter dan budaya bangsa. Beberapa
3
tokoh nasional pendahulu bangsa ini seperti Ki Hadjar Dewantoro juga menyebutkan
tentang perlunya character building sebagai bagian integral dari pembangunan
bangsa.
Beberapa Tantangan Faktual di Era Global
Zaman terus berubah. Gelombang kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
di era globalisasi membawa pengaruh perubahan yang luar biasa terhadap pola
kehidupan umat manusia di berbagai belahan bumi ini. Terjadi transformasi budaya
pada seluruh sendi kehidupan masyarakat, sehingga perubahan demi perubahan terus
terjadi dengan begitu cepat, baik pada ranah kompleks ide, kompleks kelakuan
berpola, dan kompleks sistem teknologi (Sztompka, 2004).
Di samping itu era globalisasi yang ditandai dengan revolusi informasiteknologi
(IT) telah mengondisikan proses kehidupan di berbagai bidang berada pada
arus high competition (persaingan level tinggi) yang begitu cepat dan fundamental
dengan membawa beragam resiko kehidupan (Giddens, 2001). Perubahan fenomena
kehidupan moderen tersebut, mau tak mau harus direspon oleh pemerintah Indonesia
dengan melakukan perubahan pada orientasi pembangunan nasional, dari yang semula
lebih menampakkan kecenderungan pada orientasi economic resource development
(pengembangan sumber daya ekonomi), bergeser ke arah yang lebih memperhatikan
human resource development (pengembangan sumber daya manusia), dengan
menempatkan pendidikan sebagai motor penggeraknya. Pendidikan, dengan
demikian, setidaknya mulai diyakini mampu menjadi panglima bagi segala upaya
perubahan fundamental menuju Indonesia lebih baik di masa mendatang.
Pendidikan merupakan rangkaian proses pemberdayaan potensi dan
kompetensi individu untuk menjadi manusia berkualitas yang berlangsung sepanjang
hayat. Proses ini dilakukan tidak sekadar untuk mempersiapkan peserta didik agar
dapat menggali, menemukan, dan menempa potensi yang dimiliki, tapi juga untuk
mengembangkannya dengan tanpa menghilangkan karakteristik masing-masing.
Suatu sistem pendidikan, dapat dikatakan bermutu jika proses belajar mengajar
berlangsung secara menarik dan menantang sehingga peserta didik dapat belajar
sebanyak mungkin melalui proses belajar yang berkelanjutan (Soyomukti, 2008).
Proses pendidikan yang bermutu akan membuahkan hasil pendidikan yang
bermutu dan relevan dengan tuntutan pembangunan. Untuk mewujudkan pendidikan
yang bermutu unggul perlu disusun dan dilaksanakan program-program yang mampu
4
membelajarkan peserta didik secara berkelanjutan, karena dengan kualitas pendidikan
yang optimal diharapkan akan dicapai keunggulan sumber daya manusia (SDM) yang
menguasai pengetahuan, keterampilan dan keahlian sesuai dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi yang terus berkembang. Untuk itu, sistem pendidikan bangsa yang
berpenduduk lebih dari 237 juta jiwa (www.bps.go.id) ini harus dirancang sedemikian
rupa sehingga kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dihasilkannya mampu
bersaing dengan negara-negara lain di tengah kelindan dan kompetisi globalisasi.
Adalah sebuah fakta yang tak dapat dipungkiri bahwa sumber daya manusia
yang berkualitas hanya dapat diperoleh melalui pendidikan yang bermutu unggul.
Untuk memperoleh kualitas Indonesia yang mampu bersaing di level dunia, sumber
daya manusia Indonesia yang disiapkan pun harus berkualitas kelas dunia. Sejalan
dengan itu, mau tak mau, bidang pendidikan yang dipersiapkan bagi para SDM harus
berkualitas kelas dunia dengan karakter kuat yang mampu berkompetisi di level
global. Menurut Azizy (2003) pendidikan yang ada tidak berorientasi pada
pembentukan kepribadian, namun lebih pada proses pengisian otak (kognitif) pada
anak didik. Itulah sebabnya etika, budi pekerti, atau akhlak anak didik tidak pernah
menjadi perhatian atau ukuran utama dalam kehidupan baik di dalam maupun di luar
sekolah. Educating for Characters (mendidik anak untuk membentuk watak/karakter)
selama ini baru menjadi wacana, belum terealisir pelaksanaannya dalam sistem
pendidikan nasional. Bukan saja perhatian terhadap perilaku etis bagi anak didik tidak
pernah terwujud, lebih dari itu lembaga pendidikan dan perangkatnya tidak pernah
menekankan pada lembaga yang etis/bermoral. Pada waktu bersamaan, pendidikan
formal (khususnya sekolah negeri) biasanya lebih berorientasi pada target formalitas,
sesuai dengan pedoman yang telah diberikan oleh atasannya, tanpa melihat hasil apa
yang telah dicerna dan dimiliki oleh peserta didik. Praktek-praktek tidak etis atau
tercela seperti kecurangan dalam ujian, tidak menepati janji, kurang respek terhadap
sesama kawan, kurang saling empati, tidak disiplin, kurang toleran, egoisme, dan
semacamnya tidak serius dibasmi dalam kehidupan antar sesama peserta didik. Sikap
tegas dan pemberian sanksi terhadap para pelanggar etika sosial- yang dalam
beberapa hal juga sudah menjadi ketentuan hukum-tersebut nyaris kurang terdengar.
Seharusnya dengan adanya reformasi pendidikan yang didukung lahirnya UU Sistem
Pendidikan Nasional, pembentukan karakter atau watak ini harus menjadi content
pendidikan yang sangat menentukan dan semakin jelas dan tegas arah pendidikan kita.
Beberapa analisis rasional mengapa reformasi pendidikan mutlak dilaksanakan
5
dalam menghadapi era globalisasi di abad ke-21 menurut William J. Mathis dari
Vermont University, yaitu: 1). Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi
yang terus berpenetrasi pada seluruh aspek kehidupan, sehingga sekolah harus mampu
memberikan layanan kepada masyarakat konstituennya secara fair, karena mereka
adalah stake holder-nya, dan sekaligus client dari sekolah tersebut. Masyarakat adalah
kontributor terhadap sekolah (tidak terkecuali sekolah negeri, karena budgeting
sekolah negeri dari anggaran pemerintah, yang juga adalah uang rakyat), dan mereka
memiliki hak untuk dilayani. 2). Perubahan dunia yang sangat cepat, dan para siswa
harus dipersiapkan untuk menghadapi berbagai perubahan tersebut, tidak hanya dalam
aspek kemampuan komunikasi, tetapi juga kecakapan dan kemampuan penyesuaian
diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Tantangan ke depan adalah keragaman
permintaan pasar, dan sekolah harus mampu mempersiapkan orang-orang yang akan
mengisi kebutuhan tersebut. Sumber daya manusia yang diserap sekolah juga
membawa keragaman tersebut. Dengan demikian, tidak fair kalau semua siswa harus
memiliki hanya satu kemampuan yang sama, dan jika terjadi, itu merupakan tragedi
dalam masyarakat demokratis, karena masyarakat demokratis menghargai keragaman.
3). Kemajuan teknologi dalam semua sektor industri dan pelayanan jasa akan
kian menggeser posisi manusia. Kecanggihan alat-alat teknologi semakin
menefisiensikan proses industri dan layanan jasa. Dengan demikian, pendidikan harus
mempersiapkan SDM agar tidak tergeser oleh alat-alat modern itu, tetapi justru
menjadi bagian dari kemajuan-kemajuan tersebut. 4). Penurunan standar hidup, yakni
bahwa pada generasi sebelum mereka, cadangan natural resource sangat kuat, dan
seluruh umat manusia terpenuhi berbagai kebutuhan hidupnya oleh cadangan alam
semesta. Pada generasi mereka, cadangan tersebut semakin tipis dan semakin habis.
Dengan demikian, akan terjadi penurunan standar hidup dan mereka harus diberi tahu
tentang kemungkinan-kemungkinan tersebut, yang bisa diatasi dengan penemuanpenemuan
teknologi baru, serta dengan adanya kerjasama global antarsatu bangsa
dengan lainnya. Inilah intinya kehidupan demokratis dengan penguatan jaringan antar
bangsa. 5). Perkembangan ekonomi akan semakin mengglobal, berbagai perusahaan
yang berkantor pusat di Amerika atau Jepang misalnya, memiliki kantor-kantor
perwakilan di berbagai negara melalui kerjasama investasi bersama pengusaha
lokalnya masing-masing. Ini adalah trend perkembangan ekonomi global ke depan,
yang harus diketahui oleh para siswa sebagai sebuah kenyataan yang tidak mungkin
dihindari. 6). Peranan wanita semakin kuat, posisi wanita sekarang tidak lagi
6
marginal. Mereka memiliki hak dan peluang sama dalam karier dan pekerjaan dengan
pria. Tidak ada diskriminasi pekerjaan atas dasar gender. 7). Pemahaman doktrin
keagamaan kian terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi penghalang kemajuan,
tetapi justru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan, dan 8). Peran media
masa yang terus menguat, baik dalam mensosialisasikan berbagai perubahan sosial,
mengkritik berbagai kebijakan maupun maupun sebagai media untuk memperoleh
berbagai hiburan alternatif atau sumber informasi tambahan, melalui berbagai
program televisi, yang semuanya bisa menjadi kontributor pendidikan yang positif,
dan bisa juga menjadi kendala yang negatif bagi program-program pendidikan (dalam
Rosyada, 2010).
Ini semua adalah perubahan sekaligus tantangan yang tidak mungkin
dihindari, tetapi harus disikapi dalam merancang reformasi pendidikan, karena
institusi pendidikan akan melahirkan keluaran yang tidak boleh gagal dalam
penyesuaian diri dengan lingkungan sosialnya, dan sebaliknya harus mampu
menyesuaikan diri, bahkan mampu menjadikan perubahan sebagai sebuah kekuatan
untuk artikulasi diri mereka, sehingga diakui oleh publik sebagai SDM unggul,
berkarakter, mampu bersaing dan memiliki berbagai keunggulan komparatif dengan
lainnya.
Urgensi Pendidikan Karakter
Indonesia memerlukan sumberdaya manusia dalam jumlah dan mutu yang
memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi
sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat penting. Hal ini
sesuai dengan amanat UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada Pasal 3, yang menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi
mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter serta peradaban bangsa yang
bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional
bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu,
cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (UU No. 20 Tahun 2003).
Berdasarkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional, jelas bahwa pendidikan di
setiap jenjang harus diselenggarakan secara sistematis guna mencapai tujuan tersebut.
Hal tersebut berkaitan dengan pembentukan karakter peserta didik sehingga mampu
7
bersaing, beretika, bermoral, sopan santun, bermartabat tinggi dalam konteks interaksi
dengan masyarakat, baik di level lokal, regional maupun global. Hasil riset di Harvard
University Amerika Serikat menyebutkan bahwa kesuksesan seseorang tidak
ditentukan semata-mata oleh pengetahuan dan kemampuan teknis (hard skill) saja,
tetapi lebih oleh kemampuan mengelola diri dan orang lain (soft skill). Penelitian ini
mengungkapkan, kesuksesan hanya ditentukan sekitar 20 persen oleh hard skill dan
sisanya 80 persen oleh soft skill. Bahkan orang-orang tersukses di dunia bisa berhasil
dikarenakan lebih banyak didukung kemampuan soft skill daripada hard skill. Hal ini
mengisyaratkan bahwa mutu pendidikan karakter peserta didik sangat penting untuk
ditingkatkan (Ali Ibrahim Akbar dalam Sudrajat, 2010).
Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan
Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan
yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan
norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dengan demikian
pendidikan karakter dalam konteks ini adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau
kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan
Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan
sehingga menjadi manusia insan kamil. Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua
komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana,
pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kesesuaian dan mutu pendidikan karakter,
Kementerian Pendidikan Nasional mulai mengembangkan grand design pendidikan
karakter untuk setiap jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan. Grand design
menjadi rujukan konseptual dan operasional pengembangan, pelaksanaan, dan
penilaian pada setiap jalur dan jenjang pendidikan. Konfigurasi karakter dalam
konteks totalitas proses psikologis dan sosial-kultural tersebut dikelompokan dalam:
Olah Hati (Spiritual and emotional development), Olah Pikir (intellectual
development), Olah Raga dan Kinestetik (Physical and kinestetic development), dan
Olah Rasa dan Karsa (Affective and Creativity development). Pengembangan dan
implementasi pendidikan karakter perlu dilakukan dengan mengacu pada grand
8
design tersebut (Sudrajat, 2010).
Tidak perlu disangsikan lagi, bahwa pendidikan karakter merupakan upaya
yang harus melibatkan semua elemen masyarakat-bangsa, baik dari unit terkecil yaitu
rumah tangga dan keluarga, sekolah dan lingkungan sekolah, hingga masyarakat luas
secara sinergis-partisipatoris. Oleh karena itu, perlu menyambung kembali hubungan
dan educational networks yang belakangan ini di rasa mulai terputus dan cenderung
jalan sendiri-sendiri. Pembentukan dan pendidikan karakter tersebut, tidak akan
berhasil selama antar elemen pendidikan tersebut tidak menampakkan adanya
kesinambungan dan keharmonisan yang produktif. Sebab rasionalnya, jika gerakan
masing-masing elemen ini berada di dalam pola yang harmonis dan sinergis, maka
msyarakat luas pun bergerak secara bersama-sama. Tetapi jika salah satu atau
beberapa elemen mengalami ketidakharmonisan (inequilibrium), elemen-elemen yang
lannya pun juga akan terpengaruh (Arfin, 2009).
Dengan demikian, pertama-tama, rumah tangga dan keluarga sebagai unit
lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih
diberdayakan. Sebagaimana disarankan Philips, keluarga hendaklah kembali menjadi
school of love, sekolah untuk kasih sayang (Philips dalam Nurokhim, 2007) atau
tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (dalam bahasa agama disebut
sebagai keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan
karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan (kognisi)
semata, tatapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi
pekerti yang luhur dan lain sebagainya, terimplementasikan dalam setiap tindak
praksis kehidupan sehari-hari dalam lingkup sekolah sebagai miniatur masyarakat
yang sesungguhnya. Hal ini sejalan dengan pernyataan Mochtar Buchori (2007), yang
menyarankan bahwa pendidikan karakter seharusnya membawa peserta didik ke
pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan akhirnya ke
pengamalan nilai secara nyata. Sekedar contoh sederhana adalah pemberian
penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang
melanggar, diyakini mampu menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan
sebaliknya akan mampu mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk.
Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (characterbase education)
idealnya adalah dengan menerapkan ke dalam (include) setiap pelajaran yang ada di
samping mata pelajaran khusus untuk mendidik karakter (seperti pelajaran Agama,
PPKn, Sejarah, dan sebagainya). Dengan strategi ini, tanggung jawab penanaman dan
9
pendidikan watak/karakter tidak lagi menjadi kavling para pendidik agama,
moral/etika saja tetapi menjadi tanggung jawab kolektif setiap elemen pendidikan
yang terlibat di dalamnya sehingga menjadi 'proyek bersama' yang harus didukung,
digerakkan dan dipertanggungjawabkan secara bersama pula.
Di samping itu tidak kalah pentingnya adalah pendidikan di masyarakat.
Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak
seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan
penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais
Shihab (1996), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya,
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem
nilai dan pandangan mereka terbatas pada "kini" dan "di sini", maka upaya dan
ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Oleh karena itu agenda reformasi dalam bidang pendidikan, pada dasarnya
merupakan reposisi dan bahkan rekonstruksi pendidikan secara holistik dan
komprehensif-integratif. Reformasi, reposisi dan rekonstruksi pendidikan jelas harus
melibatkan penilaian kembali secara kritis pencapaian dan masalah-masalah yang
dihadapi dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Sebab faktanya, jika dicermati
secara garis obyektif, pencapaian pendidikan nasional kita masih jauh dan harapan,
apalagi untuk mampu bersaing secara kompetitif dengan perkembangan pendidikan
pada tingkat global.
Baik secara kuantitatif maupun kualitatif, pendidikan nasional masih memiliki
banyak kelemahan mendasar. Bahkan pendidikan nasional, menurut banyak kalangan,
bukan hanya belum berhasil meningkatkan kecerdasan dan keterampilan anak didik,
melainkan gagal dalam membentuk karakter dan watak kepribadian (nation and
character building) anak bangsa bahkan fatalnya justru yang terjadi adalah sebaliknya
yaitu maraknya degradasi moral di berbagai level generasi sebagai dampak atas
kegagalan pendidikan nasional yang abai terhadap pentingnya sentuhan terhadap
dimensi watak dan karakter anak bangsa. Meminjam ungkapan yang digunakan
Moctar Buchori (2007), segenap kemelut bangsa yang kita alami
selama ini merupakan refleksi lemahnya moralitas kolektif
di dalam masyarakat Indonesia sendiri.
10
Berguru pada Pengalaman Bangsa Lain
Karakter suatu bangsa berperan besar dalam mempertahankan eksistensi,
kemandirian dan kemerdekaannya Setiap warga bangsa, terutama generasi muda
Indonesia, harus membangun kembali karakter dan kemandirian. Tanpa karakter yang
kuat, bangsa Indonesia akan kehilangan semuanya (Hatta dalam Adib, 2007). Cukup
banyak contoh empiris yang membuktikan bahwa karakter bangsa yang kuat berperan
besar dalam menopang tingkat keberhasilan dan kemajuan atau progress
pembangunan suatu bangsa. Contoh pertama adalah Cina. Negeri ini bisa dikatakan
tidak lebih makmur dibandingkan dengan Indonesia di era ’70 an. Namun dalam
kurun waktu kurang dari 30 tahun, dengan disiplin baja dan kerja keras, Cina telah
berhasil bangkit menggerakkan mesin produksi nasionalnya. Budaya disiplin Cina
tercermin dari berhasilnya negeri ini menekan masalah korupsi di kalangan
birokrasinya secara sangat signifikan. Sedangkan budaya kerja keras tampak nyata
dari semangat rakyat di negeri ini untuk bersedia bekerja selama 7 hari dalam
seminggu demi mencapai keunggulan dan kejayaan negerinya. Saat ini Cina tidak saja
menjadi negara pengekspor terbesar di dunia, akan tetapi lebih dari itu, produk ekspor
Cina semakin banyak yang memiliki kandungan teknologi menengah dan teknologi
tingkat tinggi (www.inspiratif-story.com)
Contoh lain adalah India. Negara ini sekarang telah berhasil menjadi salah satu
negara yang sanggup berswasembada pangan. Dengan jumlah penduduk kedua
terbanyak di dunia, maka mencapai posisi kesanggupan memenuhi kebutuhan pangan
secara mandiri merupakan prestasi yang tergolong luar biasa. Keberhasilan ini
didorong oleh karakter kuat bangsa India untuk maju dan membangun dengan
kemampuan sendiri atau dikenal dengan istilah budaya swadeshi. Prinsip inilah yang
telah membuat India tumbuh menjadi negara paling mandiri di Asia saat ini. Berbagai
kebutuhan hidup mulai dari yang paling sederhana seperti sabun mandi hingga yang
lux, seperti mobil, mesin-mesin industri, kapal laut, termasuk industri perfilman
"Bollywood", begitu mengakar tak tergoyahkan oleh serbuan peradaban luar.
Meskipun produk-produk tersebut kualitasnya rendah kalau dibandingkan dengan
produk Jepang dan Barat akan tetapi semangat swadeshi telah menjadikan
ketergantungan India terhadap produk impor sangat rendah. Ekonomi India bukanlah
yang terbaik di Asia, namun hutang luar negeri India nyaris tidak ada
(www.swadeshi.com)
Karakter bangsa-bangsa besar lainnya juga hampir sama. Intinya selalu ada
11
kombinasi antara semangat juang, disiplin dan kerja keras. Karakter bangsa Jerman
misalnya, adalah ’arbeit’ atau kerja keras. Artinya bagi bangsa Jerman, sukses
diperoleh melalui suatu kerja keras dan tanpa lelah. ’Budaya Instan’ tidak ada dalam
kamus bangsa Jerman. Dengan arbeit inilah bangsa Jerman, yang pernah kalah dalam
dua kali perang dunia, masih sanggup tampil kembali sebagai salah satu mesin
ekonomi dan teknologi terkuat, termaju dan termodern di dunia
(www.wikipedia.com).
Bagaimana dengan kondisi karakter bangsa kita? Kiranya tak bisa dipungkiri
bahwa pemandangan paradoksal begitu nampak tergambar pada karakter bangsa kita.
Sebagai anak bangsa kita patut prihatin, betapa seringnya bangsa ini dilecehkan dan
menjadi bulan-bulanan bangsa lain. Kasus-kasus disharmoni relasi antara Indonesia
dengan negara tetangga (Malaysia, misalnya) yang belakangan marak kembali seperti
penangkapan petugas Kementerian Departemen Kelautan dan Perikanan RI oleh
polisi Malaysia yang kemudian di barter dengan "5 penjarah ikan asal Malaysia”,
kasus sengketa perbatasan negara, perebutan atas hak milik pulau (seperti klaim atas
Ambalat oleh Malaysia) sesungguhnya merupakan indikasi kuat lemahnya
diplomasi/negosiasi dengan pihak luar (Malaysia) yang ujung-ujungnya (bisa jadi)
lepas dari NKRI. Kasus-kasus semacam ini sesungguhnya menegaskan Indonesia
sebagai pihak yang kalah, sebagai akibat lemahnya kemampuan diplomasi dan
negosiasi pemerintah Indonesia dengan pihak asing sebagai lawan. Lemahnya
kemampuan diplomasi dan negosiasi ini disinyalir karena kurang cukupnya rasa
percaya diri dan harga diri sebagai bangsa Indonesia dihadapan bangsa asing. Contoh
lain adalah masalah seputar nasib yang menimpa TKI/TKW kita di luar negeri.
Hampir setiap saat kita disuguhi berita-berita nestapa perihal TKI/TKW, sementara
TKI/TKW sendiri maupun pihak pemerintah tidak bisa berbuat banyak lantaran
lemahnya advokasi terhadap TKI/TKW yang tersandung masalah di negara tujuan
kerja. Lagi-lagi yang menjadi korban adalah warga Indonesia. Image sebagai bangsa
penakut, minder dan kurang konfiden begitu kental melingkupi peristiwa kegagalan
diplomasi, negosiasi dan advokasi seperti di atas, yang akhirnya menyebabkan
gagalnya pemerintah melindungi kepentingan bangsa dan negara Indonesia. Fakta di
atas, bisa jadi -sedikit banyak- juga dipengaruhi warisan falsafah hidup orang Jawa
(khususnya) yang selalu mengedepankan sikap nrima ing pandun, ngalah, dan sabar.
Kultur semacam ini pada dasarnya tidak selamanya jelek, akan tetapi kalau ini sudah
menjadi semacam ideologi yang mendarah daging dan selalu diugemi dalam setiap
12
event (peristiwa) maka justru akan mendatangkan kerugian bagi kita sendiri. Orang
lain lalu memanfaatkan situasi ini untuk mengekploitasi, menindas bahkan
menginjak-injak "harga diri" kita sebagai bangsa Indonesia.
Institusi Pendidikan sebagai Medan Strategis Pembangunan Karakter
Berangkat dari fakta di atas, pendidikan watak atau pendidikan "harga diri"
semacam ini mendesak untuk ditanamkan pada generasi muda, anak-anak didik kita
sejak dini di setiap jenjang pendidikan sebagai instrumen kunci dan modal penting
meningkatkan daya saing di era global. Kiranya penting untuk disadari bahwa tujuan
pendidikan bukan sekedar mendidik anak di sekolah agar menjadi pintar, namun lebih
dari itu, juga untuk menghasilkan manusia berwatak/berkarakter kuat. Karena itu
tugas dan tanggung jawab guru/dosen (institusi pendidikan) sebagai garda terdepan
pendidikan di era global bukan semakin ringan, tetapi justru semakin berat dan
komplek. Guru/dosen tidak lagi sekedar mentransfer ilmu pengetahuan, melainkan
juga harus menjadi pemicu (trigger), sumber motivasi dan inspirasi sekaligus contoh
terbaik bagi anak didiknya untuk membangun karakter kuat sebagai modal penting
daya saing SDM di era global.
Sekolah/kampus sebagai lingkungan kedua anak dalam kehidupan sehari-hari
dapat menjadi tempat strategis pembangunan karakter dan watak. Salah satu cara
sederhana namun cukup efektif ialah dengan menciptakan kultur sekolah. Caranya,
sekolah memberikan nuansa dan atmosfer yang mendukung upaya untuk
menginternalisasi karakter yang hendak ditanamkan. Pola pembangunan watak bukan
melalui hal-hal abstrak, melainkan harus konkret dalam perilaku kehidupan seharihari.
Belajar disiplin tinggi misalnya, bukan belajar pengetahuan mengenai definisi
disiplin melainkan memberikan contoh perilaku disipilin. Sebagai contoh sederhana,
jika ingin menanamkan watak disiplin maka jangan sampai ada guru yang terlambat
mengajar. Untuk itu memang tidak mudah karena seluruh elemen sekolah harus
memiliki komitmen yang sama. Jika ada guru tidak konsisten, tentu nilai kedisiplinan
itu tidak tertanam, apalagi membuahkan perilaku yang diinginkan.
Pendidikan watak dapat saja dimasukkan ke dalam kurikulum namun tidak
harus dikotakkan ke dalam satu atau mata pelajaran tertentu. Idealnya pendidikan
watak harus terintegrasi dalam berbagai mata pelajaran sehingga setiap guru
mempunyai tugas, tanggung jawab moral dan visi yang sama dalam membangun
watak (harga diri) siswa secara sistemik dan berkesinambungan (Wanda, 2005). Jika
13
dipisahkan secara eksplisit maka bisa jadi akan terjebak ke dalam formalitas seperti
pelajaran budi pekerti (etika) yang selama ini ujung-ujungnya hanya berorientasi pada
upaya mencari nilai bagus untuk rapor. Selain itu, pendidikan watak/karakter tidak
terbatas kepada aktivitas formal di dalam kelas, tetapi idealnya mendapatkan ruang
dalam berbagai kegiatan ekstrakurikuler, seperti outbond dan sebagainya. Karena itu,
perlu dikembangkan lebih lanjut melalui kegiatan pengembangan diri secara
terprogram dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler dengan merangkul para pemerhati,
pakar, atau pihak yang kompeten. Dengan cara demikian, sekolah/kampus benarbenar
akan mampu menjalankan fungsinya sebagai “pusat pendidikan watak”.
Lebih dari itu, karakter yang ingin ditransfer kepada anak, harus dapat terlihat
dalam visi dan misi sekolah. Namun, tentu saja hal tersebut harus diterjemahkan
dalam kegiatan pembelajaran. Ini akan tergambar dalam kurikulum yang nyatanya
menjadi pengalaman anak sehari-hari. Sesungguhnya dengan ditepakannya KTSP
memungkinkan setiap sekolah mendesain kurikulum dengan mengintegrasikan
karakter-karakter khas apa yang akan dibangun dan menjadi brand image unggulan
lulusan sekolah tersebut. Dengan kata lain, implementasi KTSP dalam dunia
persekolahan kita juga perlu diikuti dengan perubahan sistem pembelajaran yang
benar-benar memberikan ruang gerak kepada anak didik untuk mengembangkan
potensi dirinya agar memiliki pondasi karakter kuat seperti percaya diri, disiplin,
tanggung jawab, kekokohan spiritual, rasa optimistis, leadership, harga diri (citra
diri), mampu berkomunikasi dengan baik (public speaking), memilik kemampuan
negosiasi, kemampuan berdiplomasi serta thinking globally tanpa harus tercerabut
dari akar kearifan lokal, disamping –tentunya- penguasaan kompetensi kognitif.
Sebab pendidikan yang didominasi dengan pembangunan kognitif, hanya akan
menghasilkan manusia yang pragmatis (Tilaar, 2006).
Terlebih lagi ketika evaluasi pendidikan di sekolah juga hanya mementingkan
penguasaan kognitif, kondisi itu akan menghabiskan energi dan konsentrasi anak,
guru, dosen serta sekolah/kampus untuk mempersiapkan anak agar (hanya) siap
mengerjakan soal-soal ujian yang tak ubahnya menjawab teka-teki silang demi
mengejar target penilaian/kelulusan. Anak tidak mempunyai ruang dan waktu untuk
merefleksikan dan menginternalisasi karakter, watak maupun nilai-nilai penting untuk
masa depan diri, bangsa dan negaranya, atau dengan kata lain, mematikan
kemampuan refleksi independen anak. Tanpa pendidikan watak tersebut, peserta didik
kelak hanya memikirkan kepentingan dan keuntungan diri sendiri.
14
Berhadapan dengan berbagai masalah dan tantangan tersebut, jelas pendidikan
nasional sampai saat ini masih tetap memikul peran multidimensi. Berbeda dengan
peran pendidikan pada negara-negara maju, yang pada dasarnya lebih terbatas pada
transfer ilmu pengetahuan, peranan pendidikan nasional di Indonesia memikul beban
lebih berat. Sebagaimana disinggung di muka, pendidikan berperan bukan hanya
sekedar sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi jauh lebih luas lagi sebagai
pembudayaan (enkulturisasi) karakter dan watak (nation and character building),
yang pada gilirannya sangat krusial bagi nation building menuju rekonstruksi negara
dan bangsa yang lebih maju dan beradab. Oleh karena itu, reformasi pendidikan
sangat mutlak diperlukan untuk membangun karakter atau watak suatu bangsa,
bahkan merupakan kebutuhan mendesak. Reformasi kehidupan nasional secara
singkat, pada intinya bertujuan untuk membangun Indonesia yang lebih genuinely dan
authentically, demokratis dan berperadaban unggul di segala lini. Peran pendidikan
nasional dengan demikian merupakan sarana paling strategis untuk menanamkan dan
mengembangkan warga negara yang educated, beradab, memiliki skill dan
kompetensi tinggi, memiliki etos dan motivasi untuk maju sebagai negara-bangsa
yang bermartabat tinggi. Untuk itu, "tradisi-tradisi primitif" dan memalukan di
kalangan mahasiswa PT, seperti sering terjadinya tawuran dan kekerasan yang
belakangan terjadi di berbagai kampus di Makasar, harus ditinggalkan jauh-jauh
(Kompas, 11/07/2010). Di samping itu yang belakangan marak terjadi di kalangan
anak muda –berdasarkan hasil riset- ditemukan fakta lapangan bahwa gerakan dan
jaringan radikalisme agama telah menyusup ke sekolah-sekolah umum dan PTU. Para
siswa dan mahasiswa yang umumnya masih sangat awam soal pemahaman agama dan
secara psikologis tengah mencari identitas diri ini menjadi lahan incaran pendukung
ideologi radikalisme yang wataknya cenderung intoleran, eksklusif, dan bahkan
sampai pada fase pengkafiran (takfir) terhadap sesama Muslim di luar kelompoknya.
Tampaknya jaringan ini telah mengakar dan menyebar di berbagai sekolah dan
kampus, sehingga perlu dikaji dan direspons secara serius, baik oleh pihak
sekolah/kampus, guru/dosen, pemerintah, maupun orang tua. Kita tentu senang anakanak
itu belajar agama. Tetapi yang mesti diwaspadai adalah ketika ada penyebar
ideologi radikal yang kemudian memanfaatkan simbol, sentimen, dan baju Islam
untuk melakukan cuci otak (brain wash) pada mereka yang masih pemula belajar
agama untuk tujuan yang justru merusak agama dan menimbulkan konflik komunal
berkepanjangan yang berakhir tragis.
15
Untuk itu segenap elemen yang terkait dengan masalah pendidikan ini harus
bahu membahu secara sinergis untuk pelaksanaan tugas maha berat ini. Semua pihak
perlu memiliki harapan yang jelas dan konsisten mengenai sikap yang kita harapkan
dari anak didik kita, menghormati dan menghargai setiap pendapat dan gagasannya,
membantu untuk menghargai keunikannya, serta memberi ruang dan atmosfer yang
kondusif untuk mengembangkan dan menunjukkan kemampuan-kemampuannya dan
mengelaborasi potensinya secara maksimal. Keteladanan dan atmosfer kondusif
nampaknya menjadi kata kunci keberhasilan pola penanaman/pembangunan karakter
(watak) anak didik kita, baik dalam penguasaan kompetensi personal maupun
kompetensi sosial. Dalam hal penananam kompetensi personal, beberapa aspek perlu
untuk dikembangkan pada anak didik seperti kemampuan untuk memotivasi diri,
bertahan menghadapi frustasi, mengelola emosi diri, mengendalikan dorongan diri,
mengatur suasana hati, dan berempati (Goleman, 2000). Sedangkan penanaman
kompetensi sosial bagi peserta didik yaitu yang menyangkut proses interpersonal dan
digunakan dalam berinteraksi dengan orang lain (Michelson, dalam Wisnu, 2008).
Kompetensi sosial menjadi dimensi penting dalam rangka modal sosial untuk
berinteraksi dengan masyarakat di lingkungannya dalam rangka memenuhi
kebutuhannya untuk dapat diterima oleh masyarakat agar memperoleh rasa
dibutuhkan dan rasa berharga. Kompetensi sosial dapat membawa peserta didik untuk
lebih berani menyatakan diri, mengungkapkan setiap perasaan atau permasalahan
yang dihadapi sekaligus menemukan penyelesaian yang adaptif sehingga mereka
tidak mencari pelarian ke hal-hal yang kontraproduktif bagi diri sendiri maupun orang
lain.
Elksnin dan Elksnin (Wisnu, 2008) mengidentifikasikan kompetensi sosial
dalam beberapa ciri yang perlu dikembangkan, antara lain; 1) perilaku interpersonal,
yaitu perilaku yang menyangkut keterampilan yang digunakan selama melakukan
interaksi sosial, 2) perilaku berhubungan dengan diri sendiri, yaitu perilaku seseorang
yang dapat mengatur dirinya sendiri dalam situasi sosial, 3) perilaku yang
berhubungan dengan kesuksesan (akademik maupun non-akademik), 4) peer
acceptance (penerimaan teman sebaya), dan 5) keterampilan berkomunikasi, yaitu
keterampilan yang diperlukan untuk menjalin relasi sosial yang baik. Kedua
kompetensi atau keterampilan tersebut baik personal maupun sosial, idealnya harus
dikembangkan di kalangan peserta didik secara proporsional sehingga akan
menghadirkan sosok peserta didik yang memiliki keseimbangan hidup baik dari
16
dimensi personal maupun sosialnya.
Untuk itu perlu kiranya kita segarkan kembali kesadaran kita sebagai pendidik
sekaligus orang tua dengan menyimak petuah Dorothy L. Notle (Drost, 2004) yang
mengingatkan bahwa:
Jika seorang anak hidup dalam suasana penuh kritik, ia belajar untuk
menyalahkan.
Jika seorang anak hidup dalam permusuhan, ia belajar untuk berkelahi.
Jika seorang anak hidup dalam ketakutan, ia belajar untuk gelisah.
Jika seorang anak hidup dalam belas kasihan diri, ia belajar mudah
memafkan diri sendiri.
Jika seorang anak hidup dalam ejekan, ia belajar untuk merasa malu.
Jika seorang anak hidup dalam kecemburuan, ia belajar untuk iri hati.
Jika seorang anak hidup dalam rasa malu, ia belajar untuk merasa bersalah.
Jika seorang anak hidup dalam semangat jiwa besar, ia belajar untuk
percaya diri.
Jika seorang anak hidup dalam menghargai orang lain, ia belajar setia
dan sabar.
Jika seorang anak hidupnya diterima apa adanya, ia belajar untuk mencintai.
Jika seorang anak hidup dalam suasana rukun, ia belajar untuk
mencintai dirinya sendiri.
Jika seorang anak hidupnya dimengerti, ia belajar bahwa sangat baik
untuk mempuyai cita-cita.
Jika seorang anak hidup dalam suasana adil, ia belajar akan kemurahan hati.
Jika seorang anak hidup dalam kejujuran dan sportivitas, ia belajar akan
kebenaran dan keadilan.
Jika seorang anak hidup dalam rasa aman,ia belajar percaya pada diri
sendiri dan pada orang lain.
Jika seorang anak hidup dalam suasana penuh persahabatan, ia belajar
bahwa dunia ini merupakan suatu tempat yang indah untuk hidup.
Jika kita hidup dalam ketenteraman, anak-anak (didik) kita akan hidup
dalam ketenangan batin.
Simpulan
Alhasil, kita harus meyakini bahwa pendidikan watak (karakter) merupakan
instrumen dan elemen vital untuk membangkitkan suatu karakter bangsa yang dapat
mengakselerasi pembangunan sekaligus memobilisasi potensi domestik untuk
peningkatan daya saing bangsa di era global. Dalam pendidikan karakter di sekolah,
semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen
pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian,
kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana-prasarana,
pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Idealnya,
pendidikan dan pembinaan karakter adalah melalui internalisasi dan tindakan nyata
17
dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan
dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik, dan bukan sekedar menyentuh pada
tingkatan pengenalan norma atau nilai-nilai belaka.
Oleh karena itu, keberadaannya menjadi bagian penting dari setiap proses
pembelajaran dan kurikulum di berbagai institusi pendidikan. Mengabaikan
pendidikan karakter (watak) sama halnya mengabaikan kualitas SDM dan masa depan
bangsa yang bermartabat, sebab watak bangsa yang rapuh dan watak manusia yang
mudah goyah, hanya akan menjelma menjadi SDM yang ringkih dari segi kualitas.
Daftar Pustaka
Azizy, Qodry A. 2003. Pendidikan untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak
Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat. Jakarta: Aneka Ilmu.
Arifin, Muzayyin, 2009. Kapita Selekta Pendidikan Islam. (Jakarta: PT Bumi Aksara)
Adib, Khoirul. 2007. Mendidik Kemandirian Siswa. Majalah Suara Mahasiswa, FS
Universitas Negeri Malang.
Buchori, Mochtar. 2007. Pendidikan Budi Pekerti dan Masalah Regenerasi Bangsa.
Forum Pembaca Kompas.
Chrisina, Wanda. 2005. Upaya Penerapan Pendidikan Karakter Bagi Mahasiswa
(Studi Kasus di JTI- UK Petra). Jurnal Teknik Industri, Vol 7, No 1 (2005)
Dimyati, Khudzaifah, dkk. 2008. Pengantar Redaksi dalam Jurnal Penelitian
Humaniora. Vol. 9. No. 1 Februari 2008.
Drost, J.I.G.M. 2004. Sekolah: Mengajar atau Mendidik ? Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Giddens, Antoni Giddens. 2001. Runway World . Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama.
Sri Hertinjung, Wisnu. Social Skill;s of Preschool Children Viewed from The Teacher-
Student Interaction Based on Mediated-Learning Experience Model. Jurnal
Penelitian Humaniora. Vol.9. No. 2 Agustusi 2008.
Naisbitt, John & Aburden. 1990. Ten New Direction of The 1990's Megatrends 2000
(New York: Megatrends Ltd,)
18
Nurokhim, Bambang, 2007. Membangun Karakter dan Watak Bangsa.
(www.cakrawala.com, diakses 21 September 2010)(On line).
Purwandari, Eny, dkk. Character Building: The Influence of Values Education on The
Emotional Quotient of Children. Jurnal Penelitian Humaniora. Vol. 9. No. 1
Februari 2008.
Rosyada, Dede. 2010. Paradigma Pendidikan Demokratis Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat dalam Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Soyomukti, Nurani. 2008. Pendidikan Berperspektif Globalisasi. Jakarta: Indeks.
Sztompka, 2004. Sosiologi Perubahan Sosial, terj. Alimandan. Jakarta: Prenada
Media.
Shihab, M. Qurais, 1996. Membumikan Al-Qur'an. (Bandung: Penerbit Mizan).
Sudrajat, Akhmad. 2010. Tentang Pendidikan Karakter. (dalam
http://akhmadsudrajat.wordlpress.com/2010/08/20/diakses 15 Oktober 2010)
Tilaar, H.A.R.2004. Paradigma Baru Pendidikan Nasional. Jakarta: PT Rineka Cipta.
UU Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
(Sisdiknas). Bandung: Penerbit Citra Umbara.
Harian Kompas, (edisi 11/07/2010).
(www.bps.go.id diakses 21 April 2011(On-line).
(www.inspiratif-story.com, diakses 10 Oktober 2010 )
(www.wikipedia.com, diakses 11 Oktober 2010).
(www.swadeshi.com, diakses 15 Oktober 2010)
19
This document was created with Win2PDF available at http://www.win2pdf.com.
The unregistered version of Win2PDF is for evaluation or non-commercial use only.
This page will not be added after purchasing Win2PDF.

2 komentar:

  1. Saat ini mulai marak dibicarakan mengenai pendidikan karakter. Tetapi yang masih umum diterapkan mengenai pendidikan karakter ini masih pada taraf jenjang pendidikan pra sekolah (taman bermain dan taman kanak-kanak). sementara pada jenjang sekolah dasar dan seterusnya masih sangat-sangat jarang sekali. kurikulum pendidikan di Indonesia masih belum menyentuh aspek karakter ini, meskipun ada pelajaran pancasila, kewarganegaraan dan semisalnya, tapi itu masih sebatas teori dan tidak dalam tataran aplikatif. Padahal jika Indonesia ingin memperbaiki mutu SDM dan segera bangkit dari ketinggalannya, maka indonesia harus merombak istem pendidikan yang ada saat ini.
    Rasa simpati dilakukan karena pemerintah baru gencar-gencarnya menyosialisasikan pendidikan berkarakter.Selama ini pemerintah merasa karakter pendidikan hilang.Kondisi tersebut terlihat dengan tingkah laku siswa yang semakin tidak karuan di mata masyarakat,pemerkosaan, pencurian,tawuran antar pelajar,dan memakai obatobat terlarang seperti sabusabu menjadi pemandangan tiap hari.Bahkan terbaru, siswa-siswa tidak memiliki malu mengancam gurunya saat mengajar mata pelajaran.

    Fakta-fakta di atas membuat “miris”hati pendidikan.Berbagai upaya untuk mengembalikan karakter pendidikan terus dilakukan,mulai melakukan workshop,lomba pendidikan karakter dan penguatan keimanan kepada siswa dan guru dilakukan.Tujuan pembentukan karakter dijalankan supaya moral anak didik kembali terbangun seperti masa-masa lampau

    BalasHapus
  2. wah..bgus kyke..
    tp klo mnrut saya..

    bkne watk ni sudah sifat asli dari manusia ya,,,
    apa bisa di perbaiki, kalu bisa apa tidak lama??

    sudah ada ta data-data penelitian yang mennujukkan hal ini?

    kalau msalnya bisa..pasti akan sangat berguna...karena dengan begitu kita bisa merubaj siaft manusi yang semula jahat menjadi baik....

    BalasHapus